Memukul atau menampar anak sebagai hukuman, ditambah perkataan "supaya anak jera", bukan tindakan tepat, apalagi dibenarkan. Memukul hanya membuat anak tidak jera. Yang paling dikhawatirkan, kebiasaan orangtua memukul malah akan membuat anak menjadi trauma. Harga diri mereka pun bisa jatuh. Bukan tidak mungkin, anak malah merasa dirinya jelek atau jahat.
Keinginan tangan untuk memukul pantat anak maupun menampar harus segera diikat, kalau perlu diborgol sekalian. Memukul, yang disebut orangtua sebagai hukuman (dalam bentuk fisik), akan memberi banyak pengaruh bagi anak. Bukan pengaruh positif, melainkan negatif.
Sebut saja Ari. Perempuan berusia 36 tahun itu suka memukul anaknya yang masih balita. Dia menyebutnya sebagai hukuman karena anaknya sering rewel tanpa alasan. Anaknya yang lain, sudah duduk di bangku sekolah dasar, juga tak luput dari pukulan. Alasannya, anaknya tak mau mengerjakan PR.
Tidak bermakna
Menurut Elly Risman, PSi, pukulan menjadi tidak bermakna kalau terlalu sering dilakukan. Kalaupun terpaksa dilakukan, jelaskan alasannya. Jangan memukul kalau hanya bertujuan untuk menyakiti. Meski demikian, Elly sangat menentang anak dipukul.
Mengapa anak sebaiknya tidak dipukul? "Pada dasarnya pukulan tidak mengajarkan kepada anak atas apa yang seharusnya dia lakukan. Malah, hukuman dalam bentuk pukulan akan membuat anak merasa jelek atau jahat," ujar psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati ini.
Dampak lain, seperti disebutkan Kidshealth, memukul akan mengajarkan anak bahwa oke-oke saja untuk memukul saat marah. Lebih buruk, memukul menjadi cara untuk menyelesaikan masalah atau melampiaskan emosi, dan ini akan membahayakan anak.
Ketimbang mengajarkan anak untuk mengubah perilaku, memukul membuat mereka takut dengan orangtua. Bagi anak yang mencari perhatian, mereka akan mencari berbagai cara untuk mendapat pukulan dari orangtuanya. Ini karena anak menganggap, perhatian negatif ini jauh lebih baik daripada tidak mendapat perhatian sama sekali.
Harga diri jatuh
"Pukulan memang hanya akan menghasilkan emosi negatif, bukan positif. Hukuman dengan pukulan membuat anak trauma, marah, menjatuhkan harga dirinya, dan akhirnya membuat mereka dendam," ujar Elly.
Fungsi kognitif anak juga ikut berpengaruh. Penelitian yang dilakukan di Duke University terhadap bayi 12 bulan yang dipukul menunjukkan skor tes kognitif yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak dipukul, setelah mereka berusia tiga tahun. Memukul pun memiliki efek merusak pada perkembangan perilaku dan mental anak.
Lisa Berlin, pimpinan penelitian dari Center for Child and Family Policy, Duke University, dan koleganya, menjumpai bahwa anak yang dipukul pada usia satu tahun cenderung memiliki perilaku lebih agresif pada usia dua tahun. Anak-anak ini pun pada pengukuran kemampuan berpikir di usia tiga tahun tidak menunjukkan sebaik anak lain yang tidak dipukul. Studi tersebut dipublikasikan pada jurnal Child Development seperti dikuti CNN Health.
"Yang kita bicarakan adalah bayi dan anak balita. Saya pikir, secara kognitif, mereka belum mengerti tentang benar-salah atau hukuman, serta manfaat dari pukulan tersebut," tambah Lisa.
Lebih agresif
Sementara itu, penelitian lain yang dilakukan di Tulane University menemukan, dari sekitar 2.500 anak yang diteliti yang biasa atau sering dipukul pada usia tiga tahun, mereka cenderung lebih agresif ketika menginjak usia 5 tahun.
"Biasanya, ketika anak lebih agresif, mereka menjadi lebih banyak dipukul dan terjadilah lingkaran yang tidak berkesudahan," imbuh Elly.
Memberi hukuman pada anak, apalagi dengan memukul, sangat tidak disarankan oleh Elly. "Baik pemberian hukuman maupun hadiah, kurang tepat diberikan kepada anak. Juga kurang efektif karena itu semua datang dari luar," kata Elly.
Hukuman yang diberikan tidak mengajarkan kontrol internal dari diri anak supaya perilaku yang keliru tidak dilakukan lagi. Hukuman tidak mengajarkan bagaimana anak bertingkah laku sesuai harapan orangtua dan bagaimana ketika situasi sama muncul lagi.
"Sebenarnya, mengapa sih kita memberi hukuman?" tanya Elly. "Hukuman lanjutnya bertujuan untuk membuat anak menyesal, atau menyakitinya karena dia telah berkelakukan tidak baik atau tidak pantas, dengan harapan agar anak tidak mengulangi perbuatannya lagi."
Kemudian, agar efektif, hukuman harus sangat keras sehingga anak tidak mengulangi kelakuannya. Padahal, dari semua itu, hukuman malah melatih anak takut kepada orangtua, melawan orangtua, berbohong, melakukan sesuatu tanpa ketahuan atau tertangkap basah, dan lain sebagainya.
Paling dikhawatirkan, hukuman malah akan merusak harga diri anak sehingga tidak efektif kalau sering digunakan. Ketimbang hukuman, orangtua sebaiknya memberi aturan yang jelas dengan melibatkan anak. Aturan menjadi seperangkat harapan terhadap anak, berupa panduan dan batasan, dengan dasar kepedulian serta cinta. Ketika anak bertingkah laku tidak sesuai harapan, coba hentikan, lihat, dengar, dan pikirkan perasaan yang mendorong perbuatannya. Selain itu, orangtua juga harus membantu anak mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk mencegah mereka mengulangi tingkah laku negatif.
Keinginan tangan untuk memukul pantat anak maupun menampar harus segera diikat, kalau perlu diborgol sekalian. Memukul, yang disebut orangtua sebagai hukuman (dalam bentuk fisik), akan memberi banyak pengaruh bagi anak. Bukan pengaruh positif, melainkan negatif.
Sebut saja Ari. Perempuan berusia 36 tahun itu suka memukul anaknya yang masih balita. Dia menyebutnya sebagai hukuman karena anaknya sering rewel tanpa alasan. Anaknya yang lain, sudah duduk di bangku sekolah dasar, juga tak luput dari pukulan. Alasannya, anaknya tak mau mengerjakan PR.
Tidak bermakna
Menurut Elly Risman, PSi, pukulan menjadi tidak bermakna kalau terlalu sering dilakukan. Kalaupun terpaksa dilakukan, jelaskan alasannya. Jangan memukul kalau hanya bertujuan untuk menyakiti. Meski demikian, Elly sangat menentang anak dipukul.
Mengapa anak sebaiknya tidak dipukul? "Pada dasarnya pukulan tidak mengajarkan kepada anak atas apa yang seharusnya dia lakukan. Malah, hukuman dalam bentuk pukulan akan membuat anak merasa jelek atau jahat," ujar psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati ini.
Dampak lain, seperti disebutkan Kidshealth, memukul akan mengajarkan anak bahwa oke-oke saja untuk memukul saat marah. Lebih buruk, memukul menjadi cara untuk menyelesaikan masalah atau melampiaskan emosi, dan ini akan membahayakan anak.
Ketimbang mengajarkan anak untuk mengubah perilaku, memukul membuat mereka takut dengan orangtua. Bagi anak yang mencari perhatian, mereka akan mencari berbagai cara untuk mendapat pukulan dari orangtuanya. Ini karena anak menganggap, perhatian negatif ini jauh lebih baik daripada tidak mendapat perhatian sama sekali.
Harga diri jatuh
"Pukulan memang hanya akan menghasilkan emosi negatif, bukan positif. Hukuman dengan pukulan membuat anak trauma, marah, menjatuhkan harga dirinya, dan akhirnya membuat mereka dendam," ujar Elly.
Fungsi kognitif anak juga ikut berpengaruh. Penelitian yang dilakukan di Duke University terhadap bayi 12 bulan yang dipukul menunjukkan skor tes kognitif yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak dipukul, setelah mereka berusia tiga tahun. Memukul pun memiliki efek merusak pada perkembangan perilaku dan mental anak.
Lisa Berlin, pimpinan penelitian dari Center for Child and Family Policy, Duke University, dan koleganya, menjumpai bahwa anak yang dipukul pada usia satu tahun cenderung memiliki perilaku lebih agresif pada usia dua tahun. Anak-anak ini pun pada pengukuran kemampuan berpikir di usia tiga tahun tidak menunjukkan sebaik anak lain yang tidak dipukul. Studi tersebut dipublikasikan pada jurnal Child Development seperti dikuti CNN Health.
"Yang kita bicarakan adalah bayi dan anak balita. Saya pikir, secara kognitif, mereka belum mengerti tentang benar-salah atau hukuman, serta manfaat dari pukulan tersebut," tambah Lisa.
Lebih agresif
Sementara itu, penelitian lain yang dilakukan di Tulane University menemukan, dari sekitar 2.500 anak yang diteliti yang biasa atau sering dipukul pada usia tiga tahun, mereka cenderung lebih agresif ketika menginjak usia 5 tahun.
"Biasanya, ketika anak lebih agresif, mereka menjadi lebih banyak dipukul dan terjadilah lingkaran yang tidak berkesudahan," imbuh Elly.
Memberi hukuman pada anak, apalagi dengan memukul, sangat tidak disarankan oleh Elly. "Baik pemberian hukuman maupun hadiah, kurang tepat diberikan kepada anak. Juga kurang efektif karena itu semua datang dari luar," kata Elly.
Hukuman yang diberikan tidak mengajarkan kontrol internal dari diri anak supaya perilaku yang keliru tidak dilakukan lagi. Hukuman tidak mengajarkan bagaimana anak bertingkah laku sesuai harapan orangtua dan bagaimana ketika situasi sama muncul lagi.
"Sebenarnya, mengapa sih kita memberi hukuman?" tanya Elly. "Hukuman lanjutnya bertujuan untuk membuat anak menyesal, atau menyakitinya karena dia telah berkelakukan tidak baik atau tidak pantas, dengan harapan agar anak tidak mengulangi perbuatannya lagi."
Kemudian, agar efektif, hukuman harus sangat keras sehingga anak tidak mengulangi kelakuannya. Padahal, dari semua itu, hukuman malah melatih anak takut kepada orangtua, melawan orangtua, berbohong, melakukan sesuatu tanpa ketahuan atau tertangkap basah, dan lain sebagainya.
Paling dikhawatirkan, hukuman malah akan merusak harga diri anak sehingga tidak efektif kalau sering digunakan. Ketimbang hukuman, orangtua sebaiknya memberi aturan yang jelas dengan melibatkan anak. Aturan menjadi seperangkat harapan terhadap anak, berupa panduan dan batasan, dengan dasar kepedulian serta cinta. Ketika anak bertingkah laku tidak sesuai harapan, coba hentikan, lihat, dengar, dan pikirkan perasaan yang mendorong perbuatannya. Selain itu, orangtua juga harus membantu anak mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk mencegah mereka mengulangi tingkah laku negatif.
KOMPAS.com
0 komentar:
Posting Komentar