Permasalahannya setiap tahun selalu sama. Habis Lebaran, siapa pun yang jadi Gubernur DKI Jakarta selalu mengimbau mereka yang mudik untuk tidak membawa teman atau saudara mereka ke Jakarta. Alasannya, "Jakarta sudah terlalu penuh. Orang baru hanya akan membawa masalah."
Dan untuk 'mengatasi' para pendatang baru tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian akan menggelar razia KTP untuk para pendatang baru. Menurut arsitek dan ahli perkotaan Marco Kusumawijaya, pendekatan razia KTP atau operasi yustisi tersebut sangat tidak adil dan diskriminatif. Alasannya, operasi tersebut hanya menyasar orang-orang dengan kemampuan ekonomi terbatas. Esensi dari operasi tersebut adalah bahwa Jakarta hanya milik mereka yang punya uang.
Dan untuk 'mengatasi' para pendatang baru tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian akan menggelar razia KTP untuk para pendatang baru. Menurut arsitek dan ahli perkotaan Marco Kusumawijaya, pendekatan razia KTP atau operasi yustisi tersebut sangat tidak adil dan diskriminatif. Alasannya, operasi tersebut hanya menyasar orang-orang dengan kemampuan ekonomi terbatas. Esensi dari operasi tersebut adalah bahwa Jakarta hanya milik mereka yang punya uang.
Tapi tentu kita semua tahu, sebagian besar orang Indonesia tidak terlahir kaya. Kesejahteraan ekonomi adalah jenjang yang harus mereka naiki satu demi satu. Ada titik terbawah, tempat kita semua memulai harapan akan kesejahteraan itu. Dan buat banyak orang Indonesia, titik membangun kesejahteraan itu, selama berpuluh-puluh tahun, adalah Jakarta.
Setelah 66 tahun merdeka, belum ada kota lain di Indonesia yang bisa menyaingi Jakarta dalam menawarkan kesempatan kerja buat sekian banyak orang. Maka, di tengah ketidaknyamanan kota yang luar biasa, para pengejar mimpi kesejahteraan itu tetap saja lagi-lagi datang ke Jakarta. Indonesia tak menawarkan pilihan lain selain Jakarta untuk tempat mencari uang. Jakarta adalah ketiadaan pilihan.
Tapi benarkah?
Bukankah desentralisasi seharusnya memunculkan pusat-pusat ekonomi baru? Kini para pelaku industri toh bisa langsung berhubungan dengan birokrasi di daerah. Berbagai inisiatif membangun kota juga tak harus selalu datang dari 'pusat' seperti di masa lalu. Dan kota-kota yang sedang tumbuh pesat itu menunjukkan mereka bisa lebih manusiawi dari Jakarta. Seperti di Surabaya misalnya.
Wali Kota Tri Rismaharini memenuhi setiap sudut kota dengan taman. Saking tegasnya ia mengatur reklame iklan, Risma sampai sempat menghadapi percobaan pemecatan dari anggota DPRD.
Tentu kita juga sudah sering mendengar berbagai contoh teladan dari Wali Kota Solo Joko Widodo atau Jokowi. Dari mulai mengakomodir suara para pedagang kaki lima, tak membekali para petugas keamanannya dengan pentungan, sampai menolak pembangunan mal dan supermarket raksasa dan memilih merenovasi pasar tradisional.
Kota seperti Yogyakarta, yang sebetulnya tidak memiliki masalah kemacetan, sudah mulai mengantisipasi bertambahnya kendaraan pribadi dengan menyediakan angkutan umum nyaman, Trans-Jogja.
Setelah 66 tahun merdeka, belum ada kota lain di Indonesia yang bisa menyaingi Jakarta dalam menawarkan kesempatan kerja buat sekian banyak orang. Maka, di tengah ketidaknyamanan kota yang luar biasa, para pengejar mimpi kesejahteraan itu tetap saja lagi-lagi datang ke Jakarta. Indonesia tak menawarkan pilihan lain selain Jakarta untuk tempat mencari uang. Jakarta adalah ketiadaan pilihan.
Tapi benarkah?
Bukankah desentralisasi seharusnya memunculkan pusat-pusat ekonomi baru? Kini para pelaku industri toh bisa langsung berhubungan dengan birokrasi di daerah. Berbagai inisiatif membangun kota juga tak harus selalu datang dari 'pusat' seperti di masa lalu. Dan kota-kota yang sedang tumbuh pesat itu menunjukkan mereka bisa lebih manusiawi dari Jakarta. Seperti di Surabaya misalnya.
Wali Kota Tri Rismaharini memenuhi setiap sudut kota dengan taman. Saking tegasnya ia mengatur reklame iklan, Risma sampai sempat menghadapi percobaan pemecatan dari anggota DPRD.
Tentu kita juga sudah sering mendengar berbagai contoh teladan dari Wali Kota Solo Joko Widodo atau Jokowi. Dari mulai mengakomodir suara para pedagang kaki lima, tak membekali para petugas keamanannya dengan pentungan, sampai menolak pembangunan mal dan supermarket raksasa dan memilih merenovasi pasar tradisional.
Kota seperti Yogyakarta, yang sebetulnya tidak memiliki masalah kemacetan, sudah mulai mengantisipasi bertambahnya kendaraan pribadi dengan menyediakan angkutan umum nyaman, Trans-Jogja.
Himbauan untuk tidak membawa sanak saudara ke Ibu Kota, nampaknya tak hanya dikumandangkan oleh Gubernur DKI, Fauzi Bowo. Orang nomor satu di Yogyakarta, Sri Sultan HB X meminta agar warga Yogyakarta yang sukses merantau ke Jakarta, sebaiknya jangan membawa sanak saudaranya untuk tinggal di Ibu Kota. Selain meminta warga yang merantau membawa sanak saudaranya ke Jakarta, Sri Sultan HB X juga meminta kepada warganya yang tidak memiliki kemampuan dan keahlian khusus, tidak nekat pergi ke Ibu Kota.
Memang ada fenomena pasca lebaran seperti saat ini banyak warga dari daerah yang tertarik untuk mengikuti saudaranya untuk mengadu nasibnya di Jakarta. Memang ada yang berhasil. Namun tak sedikit juga warga perantauan yang gagal dalam mengadu nasib di Jakarta.
Memang ada fenomena pasca lebaran seperti saat ini banyak warga dari daerah yang tertarik untuk mengikuti saudaranya untuk mengadu nasibnya di Jakarta. Memang ada yang berhasil. Namun tak sedikit juga warga perantauan yang gagal dalam mengadu nasib di Jakarta.
Sultan juga mempertanyakan bila ada warga Yogyakarta yang dengan nekad tanpa keahlian khusus ingin ke Jakarta. Kehidupan masyarakat yang rukun ini, kata dia, justru bisa membuka peluang kerja bagi masyarakat. ''Selama di Yogyakarta mereka bisa hidup ayem tentrem, kenapa harus pergi ke Jakarta,'' tanya Sultan.
Lebih lanjut Sultan mengatakan bahwa masih banyak peluang kerja yang cukup terbuka luas di Yogyakarta. Beberapa sektor seperti i sektor industri kreatif, kehutanan maupun pertanian masih cukup potensial untuk digarap masyarakat Yogyakarta.
Menurut penguasa Yogyakarta ini, dirinya tak memiliki kewenangan untuk melarang warganya untuk mengadu nasib di Jakarta. Namun kalau memang ada warganya yang hendak pergi ke Jakarta, sebaiknya mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan skil dan keahlian khusus. Bukan hanya ikut-ikutan. ''Ibarat maju perang, kalau tanpa senjata sebaiknya jangan ikut perang. 'Syukur-syukur kalau sarjana sehingga selama berada di medan kehidupan kota besar mampu bersaing dengan lainnya,'' pinta Sultan.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa sebuah kota bisa memilih untuk tidak menjadi Jakarta berikutnya. Bahwa Jakarta, dengan segala keglamoran pusat perbelanjaan, deretan kendaraan mewahnya dan janji-janji kesejahteraan, adalah kota di ambang kegagalan. 'Isyana Artharini'
'jaringnews'
0 komentar:
Posting Komentar